Korupsi Era SBY Lebih Parah dari Masa Soeharto

Praktisi hukum Johnson Panjaitan mengatakan korupsi yang berlangsung di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saat ini jauh lebih dahsyat dibanding era Presiden Soeharto berkuasa. "Kalau di era Pak Harto korupsi terjadi di bawah meja, sekarang malah sampai meja-mejanya dikorup," kata Johnson, dalam diskusi bertema "Politik Anggaran sama dengan Politik Bagi-bagi Kekuasaan dan Kooptasi", di Rumah Perubahan 2.0, Jakarta, Selasa (11/10).

Bersama Johnson Panjaitan, ikut ambil bagian aktivis anti korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan, dan Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang.

Menurut Johnson, salah satu sumber korupsi adalah Badan Anggaran (Banggar) DPR. Demikian bobroknya Banggar, hingga sepertinya tidak mungkin lagi diperbaiki. "Perbaikan tidak bisa kita lakukan baik pada sistem maupun personel yang ada di Banggar. Jadi sebaiknya Banggar dibubarkan saja,” ujar Johnson.

Pendapat senada juga datang dari Abdullah Dahlan. Menurut dia, kewenangan Banggar yang terlalu besar sebagai alat kelengkapan DPR terbukti menjadi sumber korupsi. Sejumlah kasus korupsi yang terungkap belakangan ini berawal dari kesepakatan antara Banggar, Kementerian, dan pengusaha terkait proyek di pemerintahan.

“Pola-pola pembajakan APBN sudah didesain sejak awal, yaitu sejak masih di kementerian. Ini terjadi karena kementerian dipimpin kader-kader Parpol. Padahal kita tahu, problem terbesar Parpol adalah tidak mandiri dalam hal pendanaan. Itulah sebabnya Parpol menempatkan orang-orangnya di kementerian dan di Banggar sebagai para pemburu rente. Kasus Wisma Atlet menjadi contoh dan bukti nyata adanya pola-pola pembajakan APBN,” papar Dahlan.

Di tempat yang sama, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Sebastian Salang menuding APBN yang disusun pemerintah dan DPR disusun untuk kepentingan elit.

“Kalau kita perhatikan komposisinya, APBN memang disusun untuk para elit di pemerintahan dan DPR. Pos-posnya jelas, sebagian besar untuk biaya birokrasi. Sedangkan proyek-proyeknya, bukan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebab, jika untuk penguatan dan peningkatan kesejahteraan petani atau nelayan, misalnya, tidak ada cash back untuk bupati, walikota, kepala dinas dan DPR atau DPRD. Peran negara untuk mensejahterakan rakyat tidak ada. Rakyat harus berjuang mati-matian sendiri,” ungkap Sebastian.

Dikatakannya, praktek para koruptor itu pada umumnya melakukan mark up pada sisi pengeluaran. Tapi saat ini ada lagi cara baru yakni praktek mark down pada sisi penerimaan.

"Contohnya pada sisi penerimaan cukai rokok dan produk tembakau. Nilainya dari tahun ke tahun memang terus meningkat. Namun dengan penerimaan yang kini sekitar Rp60 triliun, mestinya bisa jauh ditingkatkan lagi, terutama jika dikaitkan dengan volume produksi rokok yang mencapai ratusam miliar batang tiap tahun," ujar Sebastian.

Koordinator Rumah Perubahan 2.0 Abdulrachim mengatakan, sebetulnya pelaku praktik mark down dari sisi penerimaan sudah ada yang tertangkap, yaitu Gayus Tambunan. Namun para penegak hukum tampaknya lebih suka mengadili Gayus untuk kasus sebuah perusahaan yang cuma beberapa ratus juta rupiah dan pemalsuan paspor.

“Kalau begini cara penanganan hukum bagi koruptor, maka ke depan korupsi pasti akan semakin membesar. Pertanyaannya, seriuskah SBY dalam memberantas korupsi seperti berkali-kali dikatakannya? Pertanyaan berikutnya, apakah dia masih layak dipertahankan sampai 2014,

kalo ello yang jadi presiden kepala lo pun di korupsi juga hahahaha

ads

Ditulis Oleh : ojasetiawan Hari: 23.57 Kategori: